Suasana kota
yang monoton, semua terlihat begitu sama dan seragam. Korban dari majalah, atau
mungkin para penakut itu enggan untuk terlihat berbeda. Entahlah.
Pikiran di kepala yang terus
berdesakan meminta untuk diselesaikan tanpa peduli antrian; kuliah, percintaan,
ekspektasi orangtua. Skala prioritas yang abu-abu batasnya.
Beratnya kesesakan dan keresahan
itu meringankan langkah, dan berakhir dengan mencari pelarian. Pelarian yang
entah bagaimana, membawa saya pada sebuah pulau kecil eksotis di Nusa Tenggara
Timur yang terkenal dengan banyak hal. Pulau Alor namanya.
Perjalanan
dimulai, kapal Fery tua sang pahlawan penyeberangan yang penuh penumpang tetapi
tidak melebihi kapasitas itu berlayar membelah laut yang tidak selalu tenang
menuju Pulau Alor. Lebih dari 12 jam waktu yang dibutuhkan untuk tiba di
Pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan yang dalam bahasa Alor memiliki arti Pohon
Kusambi.
Terlampau lama untuk terombang
ambing di tengah laut, terlampau singkat untuk mendapatkan beberapa teman
baru.Terlalu banyak obrolan malam itu, tapi ada satu yang begitu membekas
dengan lekas. Percakapan antara saya dengan seorang kenalan baru dikapal yang
awalnya terlihat tak terlalu bersahabat.
“Sudah berapa kali ke Alor?” Tanyanya
memulai obrolan.
“Ini pertama kalinya.” Ujar saya,
datar.
“Apakah kamu tahu filosofi orang
Alor?" Tanyanya lagi.
“Tidak tahu, ini saja kan pertama
kalinya saya ke Alor. Mana tau saya filosofinya”. Jawab saya seadanya, tak
tertarik.
“Filosofi orang Alor itu,
filosofi kenari ; hitam dan keras di luar, namun putih dan lembut di dalam."
Saya tertampar
keras oleh kalimat terakhir itu. Saya yang sedari awal tidak begitu tertarik untuk
mengobrol karena melihat orang ini kelihatannya tidak bersahabat, telah
mengabaikan fakta kalau dia pula yang telah memulai semua obrolan ini. Sikap
yang sebenarnya sangat bersahabat.
Berbeda dengan saya, yang seperti tidak mau tahu isi dari kenari karena tidak
tertarik dengan kulit luarnya. Padahal inti dari buah kan bukan kulit luarnya,
tapi isinya.
Semenyedihkan itu saya diawal
perjalanan ini.
Berikutnya
beberapa perjalanan di Alor yang memberikan saya pelajaran lebih. Lebih dari
sekedar rencana pelarian dari kenyataan.
- Ling’al
Ling’al menjadi salah satu tujuan terbaik yang bisa Alor sajikan. Ibarat
sajian makanan ling’al adalah masakan yang butuh bahan-bahan dasar yang tidak
murah, proses memasak yang tidak mudah dan butuh waktu memasak yang tidak
singkat.
Namun apabila semua bisa dijalani dengan baik maka akan mendapatkan hasil
masakan yang sangat lezat. Untuk mencapai Ling’al kita butuh menyeberang
menggunakan perahu motor, melewati ombak dan arus yang kadang kurang santai,
selama 2 – 3 jam.
Terdengar kurang menyenangkan, bukan? Iya memang. Kalau kamu orang yang berorientasi
hanya pada tujuan akhir tanpa tahu caranya menikmati perjalanan.
Selama perjalanan kita dimanjakan
dengan samudra biru, lantai dansanya para lumba-lumba. Tidak lupa, atap
biru luas langit dengan ornamen awan putih yang bergerak pelan oleh mesranya
angin, serta variasi hijau yang memaksa sepasang mata ini untuk selalu mencuri
pandang di sisi kiri dan kanan.
Setelah tiba di Ling’al saya merasa seperti tiba di potongan surga. Pantai
indah, hamparan pasir putih tanpa ada jejak kaki. Yang tersirat di pikiran saya
waktu langkah kaki saya menjadi jejak telapak pertama di pasir Ling’al siang
itu adalah “Oh, mungkin ini rasanya Neil Amstrong waktu menginjakan kaki di
bulan pertama kali”. Hiperbola? Ah. Memang terdengar berlebihan sebelum kalian
merasakannya sendiri.
Ling’al tidak berhenti sampai disitu, saya benar-benar dibuat jatuh cinta sejatuh
– jatuhnya pada hari itu. Klimaks dari keindahan Ling’al ada di puncaknya. Puncak
yang perlu sedikit usaha ekstra untuk sampai kesana.
Puncak yang membuat saya bingung mengartikan seluas apa artinya lega dan
puas. Seperti melihat cinta pertamamu
tersenyum ke arahmu dan berlari menyambutmu dengan pelukan yang hangat.
Saya pikir perjalanan menuju Ling’al adalah langkah
yang paling berat. Ternyata langkah meninggalkan Ling’al untuk pulanglah yang
jauh lebih berat.
- Kebun Kopi atau Kopidil, entah apalah namanya.
Sore itu, pikiran saya masih belum move on dari Ling’al. Masih saja
berandai-andai seindah apa senja disana. Senja yang tak sempat tercicipi.
Pengandaian yang tak habisnya, berusaha saya alihkan
dengan berkeliling tanpa tujuan. Cuma memacu si kuda besi menuju ke ketinggian,
berusaha meraih kembali sensasi puncak Ling’al yang masih segar mengisi
pikiran.
Senja mulai menjiingga, syahdu yang mengadu
menghentikan langkah. Saya tertegun mematung dengan apa yang ada dipandang.
Gunung,
laut, dan senja. Ini kombinasi terbaik yang pernah ada di dunia.
Disisi lain
kenangan itu melebur ke udara, kenangan yang ku sebut sebagai kombinasi
terburuk; aku, kamu dan ego. Senja makin
menggelap, seiring dengan pikiran yang makin jernih.
Pemandangan
di senja kala itu adalah keindahan senja Alor yang paling tidak sengaja, jujur
paling mujur yang bisa di dapatkan dari senja pertama di Alor.
Tempat ini
akan selalu mengingatkan saya bahkan terkadang, komposisi terbaik kita temukan
dari sebuah kesalahan yang terjadi.
- Kampung Adat Takpala
Mungkin tempat ini menjadi tempat wajib, termainstream bagi orang-orang yang mengunjungi Pulau Alor. Bak studio
untuk beberapa orang, tempat ini menjadi tujuan untuk sekedar melihat tarian
lego-lego atau mecoba mengenakan baju adat Takpala lalu kemudian berfoto dan
diunggah ke sosial media.
Bagi saya Kampung Adat Takpala tak hanya sekedar memenuhi hasrat standar
sosial seseorang – dalam hal ini memenuhi likes di instagram. Namun tempat ini memiliki
makna yang jauh lebih mendalam. Ini tentang bagaimana Suku Abui, suku bangsa
yang mendiami pulau Alor mempertahankan kultur tradisional yang telah
diwariskan nenek moyang ditengah modernisasi yang tak bisa dihindari.
·
Tarian
Penyambutan
Tarian Lego-lego namanya. Saya beruntung karena pada saat berkunjung ke
Takpala dapat menyaksikan secara langsung tarian ini dipertunjukkan. Lebih
hebatnya sayapun diajak untuk menari bersama. Mungkin kaki-kaki saya kaku tak
ber-irama, tapi hati saya menari begitu riangnya mengikuti alunan dari hentakan
moko-moko yang dimainkan beberapa lelaki Alor ditempat itu.
.
Saya tak
pandai mendeskripsikan perasaan dalam kata-kata, namun kalau boleh meringkas
apa yang saya rasa waktu itu dalam bait, mungkin jadinya begini;
Berputar
dalam beda.
Membaur
salam tawa.
Pudar beban
nestapa.
Di lingkar
sederhana.
Tak pernah
terpikirkan oleh saya kalau menarikan sesuatu dengan terbata-bata, bisa
melepaskan beban nestapa dan rasanya bisa semenyenangkan itu.
Pakaian Adat
Menggunakan pakaian adat ini membuat saya betul-betul mendalami karakter
sebagai laki-laki Suku Abui dalam kesehariannya.
Panah dan parang sebagai alat berburu, menunjukan bagaimana kerasnya hidup
sebagai laki-laki Suku Abui di Takpala. Mungkin sekarang sudah jauh lebih
mudah, tapi bagaimana waktu dulu? Saat berburu, merupakan suatu keharusan agar
kelaparan bukan menjadi bagian dari keluarga. Laki-laki suku Abui si petarung
untuk keluarga yang tak lekang dan dikalahkan zaman.
Soal pakaian adat untuk perempuan, saya cuma bisa bilang; entah apa yang
salah kalau ada perempuan yang kelihatan tidak cocok menggunakan pakaian adat
Suku Abui di Takpala. Sebab sejauh ini, menurut saya perempuan yang menggunakan
pakian adat ini selalu cantik tanpa bisa dijelaskan apa sebabnya.
Mungkin karena kain tenun dan semua aksesoris yang dipakai perempuan suku
Abui merupakan hasil dari kerajinan tangan mereka sendiri. Sesuatu yang dibuat
dengan hati dan kerja keras memang selalu punya daya tarik dan pijar cahayanya
sendiri, bukan?
Selain untuk dipakai sendiri, hasil kerajinan perempuan suku Abui juga ada
yang dijual kepada turis lalu hasilnya sebagai pendapatan tambahan untuk
keluarga. Kalau Lelaki suku Abui adalah petarung, perempuan suku Abui adalah
pengrajin cantik sang pendukung ekonomi keluarga.
Akhir perjalanan di Takpala melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang hanya
akan dijawab secara berbeda tiap individu ;
Apakah kita akan bertahan jika kita kembali ke masa lalu layaknya Suku Abui
yang masih bisa bertahan dan mempertahankan warisan nenek moyang di era
sekarang ini?
Apakah hal yang kita akan wariskan kepada generasi berikutnya warisan yang
luar biasa seperti yang sudah diwariskan suku Abui secara turun temurun?
Pada akhirnya cerita ini
hanya menceritakan setitik air dari lautan tentang keeksotisan Nusa Tenggara
Timur. Terlalu banyak yang bisa diceritakan, tapi hal terpenting dari
perjalanan singkat adalah membawa pulang banyak pelajaran dan memperkaya sudut pandang.
Tak peduli ke arah mana kau
melangkah, dengan siapa kau menempuh perjalanan, di Nusa Tenggara Timur kau
akan selalu pulang dengan membawa cerita yang penuh dengan kenangan dan
pelajaran hidup baru.
Mungkin kami Provinsi yang
tertinggal tapi percayalah, kami tidak pernah meninggalkan kenangan sedih
kepada teman yang berkunjung.
#exotic_NTT #lombablog_exoticNTT #destinasiwisata_NTT
Mantap fefen, tetap semangat menulis, kami masih ingin menikmati. ��
BalasHapusJalan2 di Kota Kenari..
BalasHapusMelihat keindahan alam dengan pasti..
Tanpa basa basi ku menanti..
Satu tulisan adik Fendy Paa lagi..
Setuju kalo kota kenari memang indah..
BalasHapus