Kamis, 15 November 2018

Alor Sang Kenari Dari Surga


Cerita ini dimulai dari sini. 

Suasana kota yang monoton, semua terlihat begitu sama dan seragam. Korban dari majalah, atau mungkin para penakut itu enggan untuk terlihat berbeda. Entahlah.

Pikiran di kepala yang terus berdesakan meminta untuk diselesaikan tanpa peduli antrian; kuliah, percintaan, ekspektasi orangtua. Skala prioritas yang abu-abu batasnya.

Beratnya kesesakan dan keresahan itu meringankan langkah, dan berakhir dengan mencari pelarian. Pelarian yang entah bagaimana, membawa saya pada sebuah pulau kecil eksotis di Nusa Tenggara Timur yang terkenal dengan banyak hal. Pulau Alor namanya.

 Perjalanan dimulai, kapal Fery tua sang pahlawan penyeberangan yang penuh penumpang tetapi tidak melebihi kapasitas itu berlayar membelah laut yang tidak selalu tenang menuju Pulau Alor. Lebih dari 12 jam waktu yang dibutuhkan untuk tiba di Pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan yang dalam bahasa Alor memiliki arti Pohon Kusambi.

Terlampau lama untuk terombang ambing di tengah laut, terlampau singkat untuk mendapatkan beberapa teman baru.Terlalu banyak obrolan malam itu, tapi ada satu yang begitu membekas dengan lekas. Percakapan antara saya dengan seorang kenalan baru dikapal yang awalnya terlihat tak terlalu bersahabat. 

“Sudah berapa kali ke Alor?” Tanyanya memulai obrolan.
 “Ini pertama kalinya.” Ujar saya, datar.

“Apakah kamu tahu filosofi orang Alor?" Tanyanya lagi.

“Tidak tahu, ini saja kan pertama kalinya saya ke Alor. Mana tau saya filosofinya”. Jawab saya seadanya, tak tertarik.

“Filosofi orang Alor itu, filosofi kenari ; hitam dan keras di luar, namun putih dan lembut di dalam."

Saya tertampar keras oleh kalimat terakhir itu. Saya yang sedari awal tidak begitu tertarik untuk mengobrol karena melihat orang ini kelihatannya tidak bersahabat, telah mengabaikan fakta kalau dia pula yang telah memulai semua obrolan ini. Sikap yang sebenarnya sangat bersahabat. Berbeda dengan saya, yang seperti tidak mau tahu isi dari kenari karena tidak tertarik dengan kulit luarnya. Padahal inti dari buah kan bukan kulit luarnya, tapi isinya.

Semenyedihkan itu saya diawal perjalanan ini.



Berikutnya beberapa perjalanan di Alor yang memberikan saya pelajaran lebih. Lebih dari sekedar rencana pelarian dari kenyataan.


  •  Ling’al
Ling’al menjadi salah satu tujuan terbaik yang bisa Alor sajikan. Ibarat sajian makanan ling’al adalah masakan yang butuh bahan-bahan dasar yang tidak murah, proses memasak yang tidak mudah dan butuh waktu memasak yang tidak singkat.

Namun apabila semua bisa dijalani dengan baik maka akan mendapatkan hasil masakan yang sangat lezat. Untuk mencapai Ling’al kita butuh menyeberang menggunakan perahu motor, melewati ombak dan arus yang kadang kurang santai, selama 2 – 3 jam.

Terdengar kurang menyenangkan, bukan? Iya memang. Kalau kamu orang yang berorientasi hanya pada tujuan akhir tanpa tahu caranya menikmati perjalanan.


Selama perjalanan kita dimanjakan  dengan samudra biru, lantai dansanya para lumba-lumba. Tidak lupa, atap biru luas langit dengan ornamen awan putih yang bergerak pelan oleh mesranya angin, serta variasi hijau yang memaksa sepasang mata ini untuk selalu mencuri pandang di sisi kiri dan kanan.



Setelah tiba di Ling’al saya merasa seperti tiba di potongan surga. Pantai indah, hamparan pasir putih tanpa ada jejak kaki. Yang tersirat di pikiran saya waktu langkah kaki saya menjadi jejak telapak pertama di pasir Ling’al siang itu adalah “Oh, mungkin ini rasanya Neil Amstrong waktu menginjakan kaki di bulan pertama kali”. Hiperbola? Ah. Memang terdengar berlebihan sebelum kalian merasakannya sendiri.


Ling’al tidak berhenti sampai disitu, saya benar-benar dibuat jatuh cinta sejatuh – jatuhnya pada hari itu. Klimaks dari keindahan Ling’al ada di puncaknya. Puncak yang perlu sedikit usaha ekstra untuk sampai kesana. 
Puncak yang membuat saya bingung mengartikan seluas apa artinya lega dan puas.  Seperti melihat cinta pertamamu tersenyum ke arahmu dan berlari menyambutmu dengan pelukan yang hangat. 


Saya pikir perjalanan menuju Ling’al adalah langkah yang paling berat. Ternyata langkah meninggalkan Ling’al untuk pulanglah yang jauh lebih berat. 

  • Kebun Kopi atau Kopidil, entah apalah namanya.

Sore itu, pikiran saya masih belum move on dari Ling’al. Masih saja berandai-andai seindah apa senja disana. Senja yang tak sempat tercicipi.

Pengandaian yang tak habisnya, berusaha saya alihkan dengan berkeliling tanpa tujuan. Cuma memacu si kuda besi menuju ke ketinggian, berusaha meraih kembali sensasi puncak Ling’al yang masih segar mengisi pikiran.

Senja mulai menjiingga, syahdu yang mengadu menghentikan langkah. Saya tertegun mematung dengan apa yang ada dipandang. 

 



Gunung, laut, dan senja. Ini kombinasi terbaik yang pernah ada di dunia.

Disisi lain kenangan itu melebur ke udara, kenangan yang ku sebut sebagai kombinasi terburuk;  aku, kamu dan ego. Senja makin menggelap, seiring dengan pikiran yang makin jernih.

Pemandangan di senja kala itu adalah keindahan senja Alor yang paling tidak sengaja, jujur paling mujur yang bisa di dapatkan dari senja pertama di Alor.

Tempat ini akan selalu mengingatkan saya bahkan terkadang, komposisi terbaik kita temukan dari sebuah kesalahan yang terjadi.

 

  • Kampung Adat Takpala
Mungkin tempat ini menjadi tempat wajib, termainstream bagi orang-orang yang mengunjungi Pulau Alor. Bak studio untuk beberapa orang, tempat ini menjadi tujuan untuk sekedar melihat tarian lego-lego atau mecoba mengenakan baju adat Takpala lalu kemudian berfoto dan diunggah ke sosial media.

Bagi saya Kampung Adat Takpala tak hanya sekedar memenuhi hasrat standar sosial seseorang – dalam hal ini memenuhi likes di instagram. Namun tempat ini memiliki makna yang jauh lebih mendalam. Ini tentang bagaimana Suku Abui, suku bangsa yang mendiami pulau Alor mempertahankan kultur tradisional yang telah diwariskan nenek moyang ditengah modernisasi yang tak bisa dihindari.



·     Tarian Penyambutan

Tarian Lego-lego namanya. Saya beruntung karena pada saat berkunjung ke Takpala dapat menyaksikan secara langsung tarian ini dipertunjukkan. Lebih hebatnya sayapun diajak untuk menari bersama. Mungkin kaki-kaki saya kaku tak ber-irama, tapi hati saya menari begitu riangnya mengikuti alunan dari hentakan moko-moko yang dimainkan beberapa lelaki Alor ditempat itu.

.



Saya tak pandai mendeskripsikan perasaan dalam kata-kata, namun kalau boleh meringkas apa yang saya rasa waktu itu dalam bait, mungkin jadinya begini;



Berputar dalam beda.

Membaur salam tawa.

Pudar beban nestapa.

Di lingkar sederhana.



Tak pernah terpikirkan oleh saya kalau menarikan sesuatu dengan terbata-bata, bisa melepaskan beban nestapa dan rasanya bisa semenyenangkan itu.


          Pakaian Adat
Menggunakan pakaian adat ini membuat saya betul-betul mendalami karakter sebagai laki-laki Suku Abui dalam kesehariannya. 


Panah dan parang sebagai alat berburu, menunjukan bagaimana kerasnya hidup sebagai laki-laki Suku Abui di Takpala. Mungkin sekarang sudah jauh lebih mudah, tapi bagaimana waktu dulu? Saat berburu, merupakan suatu keharusan agar kelaparan bukan menjadi bagian dari keluarga. Laki-laki suku Abui si petarung untuk keluarga yang tak lekang dan dikalahkan zaman. 


Soal pakaian adat untuk perempuan, saya cuma bisa bilang; entah apa yang salah kalau ada perempuan yang kelihatan tidak cocok menggunakan pakaian adat Suku Abui di Takpala. Sebab sejauh ini, menurut saya perempuan yang menggunakan pakian adat ini selalu cantik tanpa bisa dijelaskan apa sebabnya.
Mungkin karena kain tenun dan semua aksesoris yang dipakai perempuan suku Abui merupakan hasil dari kerajinan tangan mereka sendiri. Sesuatu yang dibuat dengan hati dan kerja keras memang selalu punya daya tarik dan pijar cahayanya sendiri, bukan?
Selain untuk dipakai sendiri, hasil kerajinan perempuan suku Abui juga ada yang dijual kepada turis lalu hasilnya sebagai pendapatan tambahan untuk keluarga. Kalau Lelaki suku Abui adalah petarung, perempuan suku Abui adalah pengrajin cantik sang pendukung ekonomi keluarga.

Akhir perjalanan di Takpala melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang hanya akan dijawab secara berbeda tiap individu ;
Apakah kita akan bertahan jika kita kembali ke masa lalu layaknya Suku Abui yang masih bisa bertahan dan mempertahankan warisan nenek moyang di era sekarang ini?
Apakah hal yang kita akan wariskan kepada generasi berikutnya warisan yang luar biasa seperti yang sudah diwariskan suku Abui secara turun temurun?


 Pada akhirnya cerita ini hanya menceritakan setitik air dari lautan tentang keeksotisan Nusa Tenggara Timur. Terlalu banyak yang bisa diceritakan, tapi hal terpenting dari perjalanan singkat adalah membawa pulang banyak pelajaran dan memperkaya sudut pandang.

Tak peduli ke arah mana kau melangkah, dengan siapa kau menempuh perjalanan, di Nusa Tenggara Timur kau akan selalu pulang dengan membawa cerita yang penuh dengan kenangan dan pelajaran hidup baru.
Mungkin kami Provinsi yang tertinggal tapi percayalah, kami tidak pernah meninggalkan kenangan sedih kepada teman yang berkunjung.

#exotic_NTT #lombablog_exoticNTT #destinasiwisata_NTT